Pesan Moral Dari Kisah Ashhabul-Kahfi-2
PESAN MORAL DARI KISAH ASHABUL-KAHFI
Oleh
Ustadz Muhammad ‘Ashim bin Musthofa
وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini)”. Mereka menjawab: “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Rabb kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun. [al-Kahfi/18:19].
Allah Azza wa Jalla mengabarkan pada ayat yang mulia ini, bahwa Dia membangunkan ash-habul kahfi dari tidur panjang mereka, dalam keadaan fisik, rambut dan kulit yang sehat seperti kondisi semula, tanpa mengalami perubahan sedikit pun. Tujuannya, supaya saling bertanya di antara mereka mengenai berapa lama mereka tidur. Sebagian menjawab, seharian penuh atau beberapa saat saja. Sebagian lain menyerahkan pengetahuan tentang waktu tersebut kepada Allah Azza wa Jalla.[1]
Lebih spesifik lagi Imam ath-Thabari rahimahullah menyebutkan tujuan mereka dibangunkan ialah agar mereka mengetahui betapa agung kekuasaan Allah, keajaiban perbuatan-Nya atas makhluk ciptaan-Nya, pembelaan-Nya terhadap para wali-Nya, dan supaya mereka semakin mengetahui secara jelas kondisi mereka, yakni keberdaan mereka yang benar-benar berlepas diri dari peribadahan kepada berhala, dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata.[2]
Di sini, Allah Subhanahu wa Ta’ala belum menjelaskan masa yang mereka pertanyakan. Akan tetapi, di ayat berikutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan masa tidur mereka selama 300 tahun berdasarkan peredaran matahari, atau 309 tahun berdasarkan peredaran bulan.
Selanjutnya mereka mengalihkan tema pembicaraan pada obyek yang lebih penting. Yaitu, kebutuhan terhadap makanan dan minuman. Maka diutuslah seseorang di antara mereka untuk pergi ke kota yang mereka tinggalkan dengan membawa uang perak yang pada waktu pergi dahulu dibawanya dari rumah[3].
Berkaitan dengan makna azka tha’aman, terdapat dua keterangan dari ulama.
Imam ath-Thabari rahimahullah, Imam Ibnu Katsir rahimahullah dan Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah merajihkan bahwa pengertian azka tha’aman adalah makanan halal, tidak mengandung barang haram atau syubhat. Karena inilah perintah dari Allah kepada para rasul dan kaum Mukminin. Sehingga, pilihan yang cocok dengan kondisi para pemuda pilihan lagi bertakwa itu dalam masalah makanan, yakni makanan halal dan yang bersih, baik makanan itu sedikit maupun banyak, sehingga tidak bermakna makanan dengan jumlah yang banyak, seperti dipegangi oleh sebagian orang.[4]
Sedangkan Syaikh as-Sa’di rahimahullah, beliau lebih condong memaknaninya dengan makanan yang paling bagus. Maksudnya, makanan terbaik dan paling lezat. Barangkali pendapatn inilah yang banyak dijadikan sandaran oleh kebanyakan ahli tafsir yang mengatakan bahwa mereka itu merupakan anak-anak raja. Karena itu, ia memerintahkan agar membeli makanan yang paling bagus yang menjadi kebiasaan santapan orang-orang kaya.[5]
Mereka juga berpesan agar ia berperilaku ramah ketika dalam perjalanan ke kota, saat membeli dan dalam perjalanan pulangnya. Begitu pula, mereka diperintahkan supaya menutup diri dalam urusannya, dan tidak menceritakan keadaan teman-temannya, jangan sampai membocorkannya kepada seorang pun.[6]
إِنَّهُمْ إِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا
Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya. [al-Kahfi/18:20]
Mereka menyebutkan mengapa pesan itu disampaikan. Alasannya, bila keberadaan mereka diketahui dan kemudian tertangkap, dikhawatirkan mereka akan menghadapi satu dari dua pilihan sulit. Dirajam dengan lemparan batu. Atau manusia akan menguji keteguhan dalam beragama dan memurtadkan mereka untuk kembali memeluk ajaran penduduk setempat, yaitu agama kekufuran. Apabila mereka (para pemuda itu) menyepakati keinginan pemerintah masa itu untuk kembali memeluk kepercayaan sebelumya, maka tidak ada keberuntungan sedikit pun bagi mereka baik di dunia maupun akhirat.[7]
Ancaman semacam itu, yaitu melancarkan gangguan dan siksaan, atau memaksa untuk murtad, sudah menjadi kebiasaan kaum kuffar terhadap kaum Muslimin. Allah juga telah menyebutkannya di ayat-ayat lain. Seperti firman-Nya :
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِرُسُلِهِمْ لَنُخْرِجَنَّكُمْ مِنْ أَرْضِنَا أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا ۖ فَأَوْحَىٰ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ لَنُهْلِكَنَّ الظَّالِمِينَ
Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka:”Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami”. Maka Rabb mewahyukan kepada mereka :”Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zhalim itu, [Ibrahim/14:13] [8]
Dua ayat di atas menunjukan beberapa pelajaran penting, yaitu:
• Anjuran supaya berilmu dan mendiskusikannya,
• Etika bagi orang yang belum jelas baginya ilmu supaya menyerahkannya kepada orang yang berilmu, dan dia berdiam diri sesuai dengan kadar kemampuannya,
• Sahnya mewakilkan dalam urusan jual-beli, dan sahnya berpatungan dalam jual-beli,
• Bolehnya memakan makanan yang baik-baik dan makanan-makanan yang lezat, asalkan tidak mengandung pemborosan,
• Anjuran agar berhati-hati dan bersembunyi, serta menjauhi tempat-tempat fitnah yang mengancam agama, dan menyimpan rahasia seseorang dan saudara-saudaranya seiman,
• Besarnya kecintaan mereka terhadap agama, larinya mereka dari dari segala fitnah yang mengancam agamanya, serta meninggalkan kampung halaman karena Allah,
• Penyebutan adanya keburukan, yaitu berupa bahaya-bahaya dan kerusakan-kerusakan yang mendorong untuk menunjukkan kebencian terhadapnya dan meninggalkannya. Cara semacam ini adalah konsep kaum Mukminin terdahulu dan sekarang.
وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ۖ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا ۖ رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ ۚ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا
Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari Kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Rabb mereka lebih mengetahui tentang mereka”. Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya”. [al-Kahfi/18:21].
Syaikh Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan kalau berkehendak memperlihatkan keadaan ashhabul-kahfi kepada khalayak di masa itu. Kejadian itu –wallahu a’lam- setelah mereka terjaga, dan kemudian mengutus salah seorang di antara mereka untuk membeli makanan. Mereka memerintahkan temannya agar menyamar dan merahasiakan (perkara mereka). Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak terhadap satu kejadian yang berisi kemaslahatan bagi orang-orang dan tambahan pahala bagi para pemuda itu. Yaitu, ketika orang-orang menyaksikan salah satu tanda kebesaran- Allah pada mereka (ash-habul-kahfi) dengan mata mereka sendiri. Sehingga mereka pun menyadari bahwasanya janji Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar ada, tidak ada keraguan padanya, juga tidak ada lagi kemustahilan setelah dahulu berselisih tentang urusan para pemuda itu. Sebagian mengakui datangnya janji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari Pembalasan. Sebagian lain meniadakannya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kisah ash-habul-kahfi sebagai tambahan ilmu dan keyakinan bagi kaum Mukminin dan hujjah (penggugat) bagi orang-orang yang menentang. Jadilah pahala dalam perkara ini untuk mereka.[9]
Selanjutnya, orang-orang yang berkuasa memiliki kehendak untuk mendirikan bangunan di atas makam mereka. Kata Abul-Faraj Ibnul-Jauzi rahimahullah, kalangan ulama tafsir mengatakan, yang dimaksud orang-orang yang memegang kendali urusan para pemuda itu, ialah raja dan bawahan-bawahannya dari kalangan kaum mukminin.[10] Mereka ini berniat untuk membangun tempat peribadahan di tempat makam para pemuda itu. Bangunan tersebut difungsikan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala di dalamnya dan mengingat-ingat para pemuda tersebut serta peristiwa yang terjadi pada mereka. Jadi, bukan dari kalangan kaum kuffar, seperti diungkapkan sebagian orang. Karena membangun masjid termasuk sifat kaum mukminin.[11]
Namun perlu diperhatikan bahwa perbuatan tersebut tidak lantas bisa dijadikan landasan untuk melegalkan pembangunan masjid di (sekitar) kuburan, seperti yang terjadi di sebagian negeri kaum Muslimin. Karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya dan mencela para pelakunya. Jadi, membangun masjid di atas kuburan tetap saja tercela. Karena seperti yang dipaparkan Syaikh as-Sa’di rahimahullah, bahwa konteks pembicaraan ayat ini tentang ash-habul-kahfi dan pujian untuk mereka. Yakni pengagungan kepada ash-habul-kahfi, dan pengangunggan itu sehingga meninggi sampai orang-orang mengatakan “dirikanlah sebuah rumah peribadatan di atasnya”. [12]
Persoalan membangun tempat ibadah di pekuburan, termasuk kuburan para nabi adalah terlarang dalam Islam. Hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan pengagungan terhadap penghuni kubur, namun lebih dikarenakan bertentangan dengan hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya berkata: “Para ulama kami berkata,’Diharamkan atas kaum Muslimin menjadikan kubur para nabi dan ulama sebagai masjid’.”
Para imam hadits meriwayatkan dari Abi Martsad al-Ghanawi, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا
Janganlah kalian shalat menghadap kubur dan jangan duduk di atasnya. [Ini lafazh Imam Muslim].
Maksudnya, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai kiblat, sehingga kalian menunaikan shalat di atasnya atau menghadapnya, seperti apa yang diperbuat oleh Yahudi dan Nashara. Akibatnya, perbuatan itu menyeret mereka pada penyembahan terhadap penghuni kubur, sehingga dahulu, tindakan itu telah menjadi penyebab penyembahan terhadap patung-patung. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dari perbuatan semacam itu dan menutup jalan yang dapat menyeret ke sana…[13]
Pelajaran dari ayat ini, bahwasanya orang yang menyelamatkan agamanya dari fitnah, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyelamatkannya. Seseorang yang bersungguh-sungguh mencari keselamatan, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyelamatkannya. Seseorang yang berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , niscaya Allah akan melindunginya dan menjadikannya sebagai sumber hidayah bagi orang lain. Barang siapa menuai kehinaan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dalam mencari keridhaan-Nya, niscaya kesudahan bagi urusannya adalah kemuliaaan yang agung dari arah yang tidak dia sangka. Dan apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik bagi orang-orang yang patuh.
سَيَقُولُونَ ثَلَاثَةٌ رَابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا بِالْغَيْبِ ۖ وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ ۚ قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ مَا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌ ۗ فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَاءً ظَاهِرًا وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِمْ مِنْهُمْ أَحَدًا
Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang, yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: “(Jumlah mereka) adalah lima orang, yang keenam adalah anjingnya”, sebagai terkaan terhadap barang yang ghaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: “(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya”. Katakanlah: “Rabbku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit”. Karena itu, janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja, dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka. [al-Kahfi/18:22].
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan perselisihan manusia mengenai jumlah ash-habul-kahfi. Siapakah mereka yang berselisih dalam masalah ini? Jawabnya, berdasarkan pandangan Syaikh as-Sa’di rahimahullah, mereka adalah Ahli Kitab.[14] Perselisihan bertolak dari dugaan mereka terhadap perkara ghaib dan pernyataan mereka yang mengada-adakan peristiwa yang tidak mereka ketahui.
Di sini, Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menceritakan tiga pendapat, tidak ada pendapat lain. [15] Sebagian mereka mengatakan, ‘jumlah mereka adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya’. Sebagian lain mengatakan, ‘jumlah mereka adalah lima yang keenam adalah anjingnya’. Dua pendapat ini, Allah menilainya sebagai dugaan belaka dari mereka tentang perkara ghaib, yang berarti batil. Lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan pendapat ketiga, ‘jumlah mereka tujuh orang yang kedelapan adalah anjingnya’, dan kemudian mendiamkannya. Ini menunjukkan, bahwasanya perkataan terakhir tersebut –wallahu a’lam- merupakan pendapat yang benar. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menggugurkan dua pendapat pertama dan tidak mempermasalahkan perkataan berikutnya. Yang berarti menunjukkan kebenarannya dan yang sesuai dengan fakta sejarah.[16]
Imam Ibnu Jarir rahimahullah membawakan riwayat yang dinilai Ibnu Katsir rahimahullah sebagai isnad yang shahih, bahwa jumlah pemuda itu ialah tujuh orang, sama dengan penjelasan sebelumnya, bersesuaian dengan ayat. [17]
Perselisihan ini termasuk perbedaan pendapat yang tidak mengandung manfaat apapun. Begitu pula dengan pengetahuan jumlah mereka, tidak menghasilkan kemaslahatan bagi manusia, baik secara agama ataupun dunia.[18] Begitu pula dengan nama-nama para pemuda itu dan anjing yang menyertainya; masih dipertanyakan keabsahannya, lantaran kebanyakan berasal dari Ahli Kitab. Dan lagi, tidak ada faidah yang secara signifikan bisa diharapkan muncul dari pengetahuan tentang hal itu.[19]
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Katakanlah: Rabbku lebih mengetahui jumlah mereka, tidak ada orang yang mengetahui bilangan mereka kecuali sedikit”. Dan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Aku termasuk dari yang sedikit itu”. Mereka itulah orang-orang yang selaras dengan kebenaran dan mengetahui kebenaran pendapatnya. Allah melarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdebat dan beradu argumenentasi dengan Ahli Kitab tentang mereka, kecuali pertengkaran lahir saja, yang berdasarkan ilmu dan keyakinan, dan juga mengandung faedah.
Adapun pertengkaran yang dilandasi kebodohan dan dugaan terhadap hal yang ghaib, atau yang tidak ada faedahnya, maka permasalahan itu tidak penting dan tidak menghasilan manfaat, baik dari sisi agama, maupun dengan mengetahuinya, seperti: pengetahuan tentang jumlah para penghuni gua dan perkara serupa lainnya. Dan sesungguhnya telah banyak diskusi dan pembahasan yang berlarut-larut tentang polemik itu yang hanya menyia-nyiakan waktu dan menggerogoti kecintaan hati kepada orang lain tanpa manfaat.[20]
Peringatan selanjutnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Muhammad n , agar beliau tidak bertanya-tanya kepada mereka mengenai ash-habul-kahfi. Karena landasan perkataan Ahli Kitab tentang para penghuni gua hanya rekaan dan prasangka belaka, tidak berdasarkan perkataan yang ma’shum, sehingga sedikit pun tidak berpengaruh terhadap kebenaran. Sementara itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membawa kebenaran kepadamu yang tidak ada keraguan dan kesangsian pun. Maka, itulah yang diutamakan untuk menjadi penengah atas kitab-kitab dan pernyataan-pernyataan yang ada sebelumnya. [21]
Petikan pelajaran dari ayat ini, yaitu adanya larangan meminta fatwa kepada seseorang yang tidak berkompeten untuk berfatwa, baik lantaran dangkalnya ilmu yang dimiliki dalam perkara yang ditanyakan, atau karena dia tidak peduli dengan apa yang telah ia ucapkan, tidak memiliki sifat wara’ yang mengekangnya. Jika dilarang meminta fatwa kepada orang seperti ini, maka larangan terhadap dirinya untuk memberikan fatwa, tentu lebih ditekankan lagi. Dan bahwasanya ada seseorang yang tidak boleh dimintai fatwa dalam perkara tertentu, tetapi tidak menutup kemungkinan ia ditanya dengan permasalahan lain yang ia kuasai.
وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَىٰ أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًا
Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”. Dan ingatlah kepada Rabbmu jika kamu lupa, dan katakanlah: “Mudah-mudahan Rabbku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini”. [al-Kahfi/18:23-24].
Ayat ini merupakan sebuah petunjuk dari Allah kepada Rasul-Nya. Yakni, larangan kepada beliau, yang tentunya juga berlaku kepada semua kalangan mukallaf, jika hendak menyelesaikan urusan yang akan dating agar mengucapkan “sesungguhnya aku akan mengerjakan,” tanpa mengaitkan dengan masyi`ah (kehendak) Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sebagian ulama bahkan menilainya sebagai teguran terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , agar tidak terulang di kemudian hari. Demikian itu, karena sikap tersebut memuat sebuah larangan. Yaitu berbicara tentang perkara ghaib, sesuatu yang akan datang, tanpa mengetahui apakah dia akan mengerjakannya ataukah tidak? Apakah terjadi atau tidak? Selain itu, ini mencerminkan sikap percaya kepada diri sendiri secara berlebihan. Tindakan ini tentu saja dilarang, karena semua kehendak tergantung dari kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala , “dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam” -at Takwir/81-29/ : -, maka semua urusan harus dikembalikan kepada masyi’ah Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui alam ghaib. [22]
Sebab turunnya ayat ini, kaum Yahudi berkata kepada kaum Quraisy: “Tanyakanlah kepada Muhammad tentang ruh, laki-laki yang melanglang buana (yakni Dzul Qarnain), dan mengenai para pemuda yang mempunyai cerita menakjubkan pada masa lalu (yakni ash-habul-kahfi).
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Aku akan mengabarkan kepada kalian besok pagi, mengenai yang kalian tanyakan”. Dan saat menjanjikan ini, beliau n tidak mengucapkan “Insya Allah,” dan ternyata wahyu datang tersendat untuk beberapa saat. Keterlambatan ini membuat beliau sedih. Kemudian Allah menurunkan jawaban tiga persoalan itu. Tentang ruh di surat al Isra`. Lihat Adhwaul-Bayan (4/84-85).
Jadi, pengertian ayat tersebut, ialah jangan sekali-kali berkata untuk sesuatu, yang engkau berniat untuk mengerjakan nantinya “sesungguhnya aku akan mengerjakannya nanti”. kecuali menyertainya dengan mengucapkan “kecuali Allah menghendaki yang lain” atau dengan ungkapan “jika Allah menghendakinya (insya Allah)”.[23] Kalimat ini dapat membantu memudahkan urusan, tercapainya berkah, serta sebagai permohonan seorang hamba dalam meminta bantuan kepada Rabbnya.[24]
Lantaran seorang hamba adalah manusia biasa, yang pasti memiliki sifat lupa untuk mengingat kehendak Allah, maka Dia memerintahkan supaya menyampaikan pengecualian, yaitu bila ingat agar terwujud apa yang diinginkan dan bahaya dapat menyingkir darinya.
Dari keumuman perintah untuk mengingat Allah ketika lupa, dapat dipetik pelajaran adanya perintah untuk mengingat-Nya ketika mengalami lupa, karena dapat menghindarkannya dari kelupaan, kemudian mengingatkan kembali apa yang terlupakan. Lupa itu sendiri bersumber dari setan, dan sebaliknya, dzikrullah dapat menghalau setan. Bila setan pergi, maka lupa pun hilang. begitu juga bagi orang yang alpa lagi lupa (mengingat Allah), ia diperintahkan supaya menyebut nama Rabbnya agar tidak menjadi orang yang benar-benar lalai. [25]
Di akhir ayat surat al-Kahfi ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan seorang hamba yang berkeinginan memperoleh kebenaran dan terjauh dari kesalahan, agar ia berdoa dan mengharap kepada-Nya, serta percaya kepada Allah, bahwa Dia akan menunjukkan kepadanya jalan paling mudah yang akan mengantarkan kepada kebenaran. Allah memerintahkan supaya hamba itu mengucapkan “mudah-mudahan Rabbku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.”
Demikianlah seharusnya keadaan seorang hamba. Dia harus selalu mencurahkan segenap kemampuan dan mengerahkan kesanggupannya dalam mencari petunjuk dan kebenaran, supaya dia mendapatkan taufik untuk tujuan itu, sampai datang pertolongan dari Rabbnya bagi dirinya dan meluruskan seluruh urusannya. [26]
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا ۖ لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ ۚ مَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi). Katakanlah :”Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain daripada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan”. [al-Kahfi/18 :25-26]
Inilah pengetahuan yang diberikan Allah tentang masa tinggal pemuda ash-habul-kahfi di dalam goa, dan bukan pernyataan Ahli Kitab.[27] Dan hal ini disampaikan setelah Allah melarang Rasul-Nya bertanya kepada Ahli Kitab tentang ash-habul-kahfi, karena mereka tidak memiliki ilmu. Karena pengetahuan tentang hal itu hanya milik Allah, termasuk hal yang tersembunyi di langit dan di bumi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala Dzat yang Mahamengetahui yang ghaib maupun yang nyata, dan Dia Mahamengetahui segala sesuatu. Apa yang diberitakan oleh Allah melalui lisan-lisan Rasul-Nya, maka hal itu merupakan kebenaran yang diyakini, dan tidak ada keraguan padanya. Sedangkan berita yang tidak Allah beritahukan kepada para rasul-Nya, maka tidak ada seorang pun dari makhluk yang dapat mengetahuinya. [28]
Kemudian Allah memberitahukan betapa sempurna pendengaran dan penglihatan-Nya, serta betapa sempurna jangkauan-Nya terhadap seluruh perkara yang didengar maupun obyek yang terlihat, usai mengabarkan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu yang diketahui.
Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian menutup ayat ini dengan menyatakan, bahwa Dialah yang mempunyai hak penciptaan, hak menangani urusan, dan tidak ada yang mampu menghadang keputusan-Nya. Dia tidak mempunyai pembantu, penolong, sekutu maupun pemberi pengarahan. Maha Tinggi lagi Maha Suci Allah.[29]
Demikian penjelasan ringkas dari kisah ash-habul-kahfi melalui keterangan para ulama tafsir. Semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam.
Maraji`:
1. Al-Jâmi’ li Ahkamil-Qur`ân, Abu ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzaq Al-Mahdi, Dâr Al-Kitab Al-‘Arabi, Cetakan II, Tahun 1421 H/1999 M.
2. Tafsîr Ath-Thabari (Jami’ul-Bayani fi Ta`wîli Ayil-Qur`ân), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath- Thabari (224-310 H), Dar Ibni Hazm, Cetakan I, Tahun 1423 H/2002 M.
3. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm, Tahqîq: Dr. As-Sayyid bin Muhammad As-Sayyid dkk., Daarul Hadiits, Mesir, Cetakan I, Tahun 1425 – 2005 (5/146).
4. Tafsîr Sûratil-Kahfi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan I, Tahun 1423 H.
5. Taisirul-Karîmir-Rahmân fî Tafsîri Kalamil-Mannan, ‘Abdur-Râhman bin Nashîr As-Sa’di, Tahqîq: ‘Abdur-Rahmân bin Mu’alla Al-Luwaihiq, Dâr As-Salâm, Riyadh, KSA, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001 M.
6. Zâdul-Masir fî ‘Ilmit-Tafsîr, Abul-Faraj ‘Abdur-Rahmân bin ‘Ali bin Muhammad Al-Jauzi (Ibnul- Jauzi), Al-Maktabul-Islami, Cetakan III, Tahun 1404 H 1984 M.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (4/145).
[2]. Jâmi’ul-Bayân (9/265), Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/145).
[3]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/145)
[4]. Jâmi’ul-Bayân, (9/275), Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/145)
[5]. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 503.
[6]. Silahkan lihat Adhwâul Bayân (4/49-50), Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/145), Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 503
[7]. Zâdul Masir 3/73, Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/145), Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 503
[8]. Adhwâul Bayân (4/80-81).
[9]. Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 504.
[10]. Zâdul Masir (3/74).
[11]. Adhwâul Bayan 82
[12]. Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 504
[13]. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (10/329-330). Setelah hadits di atas Imam Al Qurthubi rahimahullah membawakan lima hadits yang menetapkan larangan tersebut. Dengan ini, argumentasi dengan ayat ini yang dipakai penulis buku ‘Mana Dalilnya’ hal 87 Taman Ilmu Surakarta Januari 2006 untuk melegalkan ‘bersatunya’ masjid dan makam para ulama di tanah air tidak bisa dibenarkan. Buku tersebut memang banyak mengandung kekeliruan. Maka tidak layak untuk dibaca!.
[14]. Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 504
[15]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm 147
[16]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm 147, Adhwâul Bayan (4/82), Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 504.
[17]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm 147
[18]. Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 504.
[19]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm 147
[20]. Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 504.
[21]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/148)
[22]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/148), Taisirul-Karîmir-Rahman, hlm 504.
[23]. Adhwâul Bayân (4/83).
[24]. Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 505.
[25]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/150), Taisirul-Karîmir-Rahman, hlm 505
[26]. Taisirul-Karîmir-Rahman, hlm. 505.
[27]. Al Jami (10/335), Jami’ul-Bayan (9/284-285).
[28]. Taisirul-Karîmir-Rahman, hlm. 505.
[29]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/151).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3513-pesan-moral-dari-kisah-ashhabul-kahfi-2.html